
Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia pada saat ini. Hal ini ditandai dengan adanya pergeseran pola penyakit secara epidemiologi dari penyakit menular yang cenderung menurun ke penyakit tidak menular yang secara global meningkat di dunia, dan secara nasional telah menduduki sepuluh besar penyakit penyebab kematian dan kasus terbanyak, yang diantaranya adalah penyakit diabetes melitus (DM) dan penyakit metabolik (PM) (Depkes, 2008). Diabetes melitus atau kencing manis adalah suatu gangguan kesehatan berupa kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula dalam darah akibat kekurangan insulin ataupun resistensi insulin dan gangguan metabolik pada umumnya. Pada perjalanannya, penyakit diabetes akan menimbulkan berbagai komplikasi baik yang akut maupun yang kronis atau menahun apabila tidak dikendalikan dengan baik. Diabetes merupakan salah satu penyakit degeneratif yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan atau dikelola, artinya apabila seseorang sudah didiagnosis DM, maka seumur hidupnya akan bergaul dengannya (Isniati, 2007). Diabetes melitus lebih dikenal sebagai penyakit yang membunuh manusia secara diamdiam atau “Silent killer”. Diabetes juga dikenal sebagai “Mother of Disease” karena merupakan induk dari penyakit – penyakit lainnya seperti hipertensi, penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke, gagal ginjal, dan kebutaan. Penyakit DM dapat menyerang semua lapisan umur dan sosial ekonomi (Anani, 2012; Depkes, 2008). Peningkatan prevalensi DM di dunia lebih menonjol perkembangannya di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia World Health Organitation (WHO), dunia didiami oleh 171 juta diabetisi pada tahun 2000 dan akan meningkat dua kali lipat menjadi 366 juta diabetisi pada tahun 2030.
WHO juga memprediksi Indonesia, bahwa akan ada kenaikan prevalensi DM di Indonesia dari 8,4 juta diabetisi pada tahun 2000, 14 juta diabetisi pada tahun 2006, dan akan meningkat menjadi sekitar 21,3 juta diabetisi pada tahun 2030. Artinya akan terjadi kenaikan tiga kali lipat dalam waktu 30 tahun. Hal ini akan menjadikan Indonesia menempati urutan ke empat dunia setelah Amerika Serikat, China, dan India dalam masalah diabetes (Aprianti, dkk, 2009). Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa secara nasional, prevalensi DM berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah 1,1%. Prevalensi nasional DM berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur >15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah 5,7%, dan provinsi Jawa Tengah mempunyai prevalensi DM di atas prevalensi nasional. Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012, prevalensi DM yang tergantung insulin (DM tipe 1) di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 adalah sebesar 0,06%, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan prevalensi tahun 2011 sebesar 0,09%. Prevalensi kasus DM tidak tergantung insulin (DM tipe 2) juga mengalami penurunan dari tahun 2011 ke tahun 2012, dimana pada tahun 2011 sebesar 0,63% menjadi 0,55% pada tahun 2012. Di Kabupaten Batang, pada tahun 2011 penyakit DM merupakan penyakit tidak menular dengan jumlah kasus tertinggi kedua setelah hipertensi esensial, sedangkan pada tahun 2012 penyakit DM merupakan penyakit tidak menular urutan keempat setelah hipertensi esensial, kecelakaan lalu lintas, dan asma bronkiale. Penyakit DM selalu masuk dalam sepuluh besar penyakit tidak menular. Berdasarkan Laporan Tahunan Kasus Penyakit Tidak Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Batang pada tahun 2011 kasus DM sebesar 3.540 kasus, tahun 2012 kasus DM mengalami penurunan menjadi 1.427 kasus, dan pada tahun 2013 kasus DM mengalami peningkatan dari tahun 2012 menjadi 2.118 kasus.
Di RS QIM Batang, menurut data di sub bagian rekam medik RS QIM Batang menunjukkan bahwa jumlah pasien DM di RS QIM Batang tahun 2012 mengalami peningkatan dua kali lipat bila dibandingkan dengan tahun 2011, dimana pada tahun 2011 pasien DM di RS QIM Batang tercatat 118 pasien, yang terdiri dari 61 pasien rawat inap dan 57 pasien rawat jalan. Pada tahun 2012 pasien DM di RS QIM Batang tercatat 248 pasien, yang terdiri dari 107 pasien rawat inap (DM tipe 1 sebanyak 6 orang, DM tipe 2 sebanyak 101 orang) dan 141 pasien rawat jalan (DM tipe 1 sebanyak 22 orang, DM tipe 2 sebanyak 119 orang). Terjadinya peningkatan jumlah pasien DM rawat jalan dan rawat inap di RS QIM Batang ini menjadi salah satu indikator bahwa penanganan dan penanggulangan DM belum optimal dalam masyarakat. Hasil ini memberikan gambaran bahwa penyakit DM masih perlu mendapat prioritas pelayanan kesehatan akibat dari perilaku masyarakat. Hasil survei wawancara yang dilakukan pada 10 orang pasien rawat jalan di RS QIM Batang menunjukkan bahwa pasien belum bisa mengontrol kadar gula darahnya dengan baik, dan pasien tidak melakukan anjuran pengobatan dengan baik. Sebenarnya diabetes merupakan penyakit yang bisa dikontrol karena hampir 90% nya berkaitan dengan gaya hidup yang tidak sehat, penderita mampu hidup sehat bersama DM, asalkan mau patuh dan kontrol secara teratur. Faktor risiko penyakit DM dan penyakit metabolik sangat erat kaitannya dengan perilaku tidak sehat, serta adanya perubahan gaya hidup seperti diit tidak sehat dan tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, mempunyai berat badan lebih (obesitas), hipertensi, dan konsumsi alkohol serta kebiasaan merokok, disamping faktor-faktor risiko lain seperti usia, jenis kelamin, dan keturunan (Depkes, 2008; Desai, et al, 2000). Pengendalian DM dan penyakit metabolik dilakukan melalui pencegahan dan penanggulangan dari faktor risiko tersebut di atas, yaitu dengan modifikasi gaya hidup atau perubahan gaya hidup dan konsumsi obat antidiabetik. Prinsip dasar manajemen pengendalian DM meliputi modifikasi gaya hidup, dengan mengubah gaya hidup yang tidak sehat menjadi gaya hidup yang sehat berupa pengaturan makanan (diit), latihan jasmani atau latihan aktifitas fisik, perubahan perilaku risiko meliputi berhenti merokok dan membatasi konsumsi alkohol, serta kepatuhan konsumsi obat antidiabetik. Di Amerika, strategi terapi DM yang efektif adalah modifikasi gaya hidup dan antidiabetik oral. Perubahan gaya hidup menjadi pilihan pertama dalam pencegahan DM, walaupun antidiabetik oral dapat mencegah DM, namun efeknya tidak sebesar perubahan gaya hidup. Oleh karena itu, obatobatan ditempatkan sebagai tambahan terhadap perubahan gaya hidup (Alberti, et al, 2007; Kang H, et al, 2009). Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan Modifikasi Gaya Hidup dan Kepatuhan Konsumsi Obat Antidiabetik Dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RS QIM Batang Tahun 2013”.
REFERENSI: Unnes Journal of Public Health 4 (2) (2015) https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph/article/view/5193
