
Epilepsi merupakan kelainan otak yang ditandai dengan predisposisi kronik untuk mengalami kejang epileptik dengan berbagai konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial yang menyertainya. Angka kesakitan akibat epilepsi di dunia mencapai 50 juta jiwa, angka ini membuat epilepsi menjadi salah satu penyakit neurologis yang paling umum. Penegakkan diagnosis epilepsi dilakukan berdasarkan pengamatan riwayat klinis pasien secara mendalam. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa EEG, pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan laboratorium. Bangkitan kejang pada epilepsi dapat berupa bangkitan parsial dimana sumber kelainan berasal dari satu hemisfer otak maupun bangkitan umum dimana sumber kelainan berasal dari kedua hemisfer otak. Terapi utama untuk epilepsi adalah pemberian obat antiepilepsi dengan tujuan utama untuk menurunkan frekuensi terjadinya kejang tanpa efek samping yang signifikan. Pilihan obat yang digunakan bergantung pada tipe bangkitan kejang serta faktor biaya, keamanan dan kemudahan penggunaan dari obat itu sendiri. Selain dengan pemberian obat antiepilepsi, terapi juga dapat dilakukan dengan tindakan operasi. Terapi nonfarmakologis yang dapat diberikan pada epilepsi yang tidak berespon terhadap pemberian obat adalah diet ketogenik yang merupakan diet spesial tinggi lemak dan rendah karbohidrat.
Diet ini akan menciptakan keadaan ketosis yang dapat menurunkan frekuensi bangkitan epilepsi melalui beberapa cara yaitu: (1) efek antikonvulsif badan keton; (2) penurunan eksitabilitas neuron oleh badan keton; dan (3) melalui efek pada jalur mTOR. Efektivitas diet ketogenik didukung kuat oleh berbagai penelitian yang menunjukkan penurunan kejadian kejang. Sementara itu, kelemahan dari diet ini adalah rendahnya tolerabilitas dan tingginya angka dropout.
REFERENSI : Majority | Volume 7 Nomor 1 | November 2017 | http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/1756/1713
